Minggu, 16 Oktober 2016

Remember "That"

Aku ingat, aku pernah baca buku yang berjudul “Apa Guna Sejarah”, ada kalimat yang bukan ada benarnya tetapi memang benar adanya, yaitu “the places are empty now, were once so full of vivid life”, kalimat ini mengingatkanku pada sebuah tempat kecil yang terpencil dimana aku di besarkan, tempat yang sangat bersejarah. Aku tak tahu apa itu sejarah, tapi aku sempat berpikiran sama seperti Hendry Ford dalam buku “Apa Guna Sejarah” yang mengatakan bahwa “sejarah adalah omong kosong”. Bagiku, yang berlalu biarlah berlalu menjadi sebuah kisah klasik yang usang termakan oleh waktu, kita tidak akan tahu apa guna sejarah jika kita tidak merasakan kejenuhan dengan kehidupan yang kita alami sekarang. Jika perasaan jenuh mulai menghampiri kesibukan rutinitas kita sehari-hari, maka kita akan berpikir ke belakang, merenung, dan membanding-bandingkan kehidupan kita di masa lalu dan masa sekarang. Itu yang saat ini saya rasakan dan lakukan.
            Di desa kecil nan terpencil itu aku tinggal dengan keluarga kecilku, yang dulunya kehidupan sederhana, kini bagiku adalah kebahagiaan yang tiada tara dan tak akan bisa terulang, semuanya terekam oleh lensa sejarah dan hanya terimpan dalam memori otak yang tak bisa di paste ke memori card computer. Dulu aku sangat ingin menghapus memori sejarah itu, banyak hal yang memilukan tersimpan didalamnya, terlalu sakit untuk di kenang dan sampai saat ini bibir ini kaku ketika hendak membagi kisah ke orang lain, yang melekat erat dalam memori otakku adalah luka jika mengingat kejadian lalu, tanpa ku coba memikirkan kisah bahagia yang pernah aku alami. Aku berusaha keras melupakan, tapi itu dulu, sekarang aku takut, sangat takut jika aku akan lupa.
            Mendengarkan music tempo dulu adalah salah satu kesukaanku, sering teman-temanku meledek tanpa memikirkan perasaanku, aku tak mampu menjelaskan alasanku mengenai kesukaanku terhadap music tempo dulu. Aku semakin tak ingin memberi alasan ketika aku sadar akan satu hal, “mereka tak tahu apa guna dan kesenangan dalam sejarah”, ku biarkan mereka dengan pemikiran mereka yang gaul dan modern “katanya”. Ketika aku mendengarkan music tempo dulu, aku merasa memori kolektifku terpanggil, music-musikyang ngetren di era 80-an itu biasa aku dengarkan ketika aku masih kecil dari sebuah tape tua milik bapakku,di sebuah rumah panggung yang kecil tempat kami tinggal, tape itu masih di simpan oleh bapak sampai saat ini, meskipun rongsok tapi tak pernah terpikirkan untuk menjualnya, tape itu memiliki kenangan tersendiri “kata bapak”. Rumah panggung kecil yang di penuhi dengan hangatnya kasih sayang dan kebersamaan tanpa adanya kesibukan dan rutinitas yang membosankan seperti saat ini.
            Beberapa kali dalam seminggu bapak sama nenekku ke laut memancing ikan, menggunakan perahu dan mendayung menyusuri laut. Aku ingat ketika berjalan di jalan yang lebarnya hanya sekitar 30 CM menuju kebun, rumput-rumput liar kadang menempel di bagian bawah celana yang aku gunakan. Memetik tomat, rica, sayuran, buah kopi, buah coklat, dan buah-buahan lainnya adalah hal yang sering aku lakukan bersama bapak, mama, nenek, dan kakek, karena adikku masih kecil jadi dia tidak bisa ikut, dan itu adalah hal yang paling mengesalkan bagiku waktu itu, banyak nyamuk-nyamuk hutan yang senang mengisap darahku, belum lagi semut-semut merah yang menempel pada buah kopi yang mulai memerah dan harus di petik, aku mulai kesal ketika nyamuk-nyamuk itu mengisap darahku dan meningkalkan bentolan merah di kulitku, semut-semut nakal mulai mengigit dan menyisakan sakit nyut-nyutan yang tidak terlalu sakit tapi bikin naik tensi, itulah saat aku akan menangis dan minta pulang ke rumah.Aku ingin mengulang kisah itu, aku merindukannya, amat sangat merindukannya.
            Usiaku kini 19 tahun, aku sekarang kuliah di Universitas Tadulako Palu, jarak yang begitu jauh memisahkan aku dengan keluarga, tuntutan pendidikan memaksa aku harus menahan rindu terhadap keluarga yang setiap saat menghampiri.Kadang dalam setahun sekali dua kali aku kembali ke kampung halaman, bukan kampung halamanku, tapi kampung halaman orang lain, aku tak lagi tinggal di desa kecil yang aku ceritakan.Bapak dari bapakku menghadap yang kuasa tahun 2002 lalu, dua tahun berlalu bapak dari mama juga meninggalkan anak dan cucu-cucunya. Kepergian dua tuan tanah itu menyisakan luka yang mendalam, ketika kedua orang hebat itu menghadap sang khalik, desa kecil yang dulunya indah seakan ikut mati bersama tuan tanahnya, itu alasan keluargaku memilih berpindah ke desa lain. Namun meskipun begitu kami masih sering berkunjung ke desa itu untuk menengok nenek, ibu dari bapakku, nenek perempuanku tak ingin meninggalkan desa kecil itu karena tak ingin meninggalkan rumah yang dulunya ia bangun bersama suami tercintanya, dan tempat anak-anak mereka lahir dan di besarkan, salah satunya adalah bapakku. Tapi nenek perempuanku juga sering berkunjung ke desa dimana tempat anak-anaknya tinggal, tapi tak lama, ia tetap ingin kembali ke rumahnya, bahkan dalam kondisi mata yang sudah tak jelas melihat ia masih tetap tinggal di rumahnya, aku senang menginap di rumah nenek perempuanku, mengingat ia sendirian, karena di desa itu hanya ada 4 rumah. Setiap aku menginap nenek selalu membuatkanku ikan tumis, karena dulu aku tak ingin makan jika lauknya bukan ikan tumis, karena matanya tak melihat dengan jelas nenek hanya mampu meraba untuk menemukan bahan-bahan dan benda yang ia butuhkan, dan ia sudah menghapalkan dimana ia menyimpan sesuatu, walapun penglihatannya tak jelas itu tidak mengurangi rasa nikmat ikan tumis kesukaanku buatan nenek, aku memiliki julukan untuk nenek perempuanku yaitu nenek ompong, semuanya jadi ikut-ikutan memanggil nenek ompong, jadi masakan itu ku beri nama ikan tumis alaa nenek ompong, sampai sekarang belum ada yang bisa menyamai ataupun menyaingi ikan tumis buatan nenek ompongku.

            Semakin hari usia tua makin bertambah, di usia nenek yang tak lagi muda, berbagai macam penyakit mengerogoti tubuhnya, kini nenek ompong benar-benar buta, jari kaki kanannya tinggal 3 karena dulu ketika penglihatannnya belum buta-buta banget, nenek ompong sering memperbaiki pagar-pagar rumahnya yang terbuat dari batang-batang kayu, ketika berjalan nenek ompong tak melihat ada potongan drum besi yang terletak di tanah, dan dia menendangnya dan membuat jari kakinya terpotong. Cukup lama nenekku menderita karena sakitnya, banyak hal yang tak mampu aku ungkapkan tentangnya, aku selalu mengingat dan tertancap benar di otakku pesan nenek “jangan pernah buat orang tuamu malu”, yah aku telah berjanji akan hal itu. Waktu itu aku berada jauh dari kampung halaman, kehilangan seseorang itu adalah hal tak pernah terduga sebelumnya, aku mendapat kabar dari bapak bahwa nenek telah meninggal, air mataku tak tertahankan hatiku begitu sakit, aku menyesal karena selalu menunda untuk menjenguk nenek ketika sakitnya bertambah parah, karena alasana pendidikan. Tak lagi kupikirkan masalah ujian sekolah, aku memutuskan untuk kembali ke kampung, dan yang aku temui hanyalah tubuh yang pucat dan terbujur kaku, berat rasanya kakiku melangkah ke arah nenek, bapak menagkap tubuhku yang hampir saja tergeletak di tanah dan memelukku erat.Berat rasanya namun aku menyanggupkan diri untuk ikut mengantarkaan nenek ke tempat peristirahatan terakhirnya, selamat jalan nenek ompong, semoga engkau di tempatkan disurga-Nya Aamiin.

Selasa, 22 Desember 2015

berita



NAMA :RAHMAWATI
STAMBUK: B 501 13 148


 PALU-organisasi semat mengelar demokrasi  hak manusia dikarenakan penjabat sulawesi tengah hanya melakukan pesta politik padahal tanggal 27 hari hak asasi manusia.
"demokrasi ini berlangsung dijalan hasanuddin pas dibundaran pertokoan, para organisasi mengungkapkan rasa kekecewakan terhadap penjabat-pejabat dan pemerintah sulawasi tengah.
Demokrasi hanya sekedar mengingatkan kepada pejabat-pejabat dan pemerintah sulawesi tengah kepada hari hak asasi manusia, yang seharusnya harus diperingatih bukan untuk pesta politik.
Sejumlah anggota organisasi semat ini melakukan demokrasi dari 12 jam siang hingga jam 5 lewat, demokrasi ini sempat membuat masyarakat resa dikarenakan jalan untuk untuk kendaraan hanya dipakai demokrasi , untuknya demokrasi ini membuat kericuhan ditempat kejadian.
Selanjutnya , domokrasi ini hanya memberitahukan kepada penjabat-penjabat dan pemerintah sulawesi tengah untuk melakukan peringantan hari hak asasi manusia dan tidak melakukan pesta politik dan tidak melupakan hari hak asasi manusia pada tanggal 27 november, yang berlangsung ditengah kota  dijalan hasannudin pas dibundaran pertokoan.