Aku ingat, aku pernah baca buku yang
berjudul “Apa Guna Sejarah”, ada kalimat yang bukan ada benarnya tetapi memang
benar adanya, yaitu “the places are empty now, were once so full of vivid
life”, kalimat ini mengingatkanku pada sebuah tempat kecil yang terpencil
dimana aku di besarkan, tempat yang sangat bersejarah. Aku tak tahu apa itu
sejarah, tapi aku sempat berpikiran sama seperti Hendry Ford dalam buku “Apa
Guna Sejarah” yang mengatakan bahwa “sejarah adalah omong kosong”. Bagiku, yang
berlalu biarlah berlalu menjadi sebuah kisah klasik yang usang termakan oleh
waktu, kita tidak akan tahu apa guna sejarah jika kita tidak merasakan
kejenuhan dengan kehidupan yang kita alami sekarang. Jika perasaan jenuh mulai
menghampiri kesibukan rutinitas kita sehari-hari, maka kita akan berpikir ke
belakang, merenung, dan membanding-bandingkan kehidupan kita di masa lalu dan
masa sekarang. Itu yang saat ini saya rasakan dan lakukan.
Di
desa kecil nan terpencil itu aku tinggal dengan keluarga kecilku, yang dulunya
kehidupan sederhana, kini bagiku adalah kebahagiaan yang tiada tara dan tak
akan bisa terulang, semuanya terekam oleh lensa sejarah dan hanya terimpan
dalam memori otak yang tak bisa di paste ke memori card computer. Dulu aku
sangat ingin menghapus memori sejarah itu, banyak hal yang memilukan tersimpan
didalamnya, terlalu sakit untuk di kenang dan sampai saat ini bibir ini kaku
ketika hendak membagi kisah ke orang lain, yang melekat erat dalam memori
otakku adalah luka jika mengingat kejadian lalu, tanpa ku coba memikirkan kisah
bahagia yang pernah aku alami. Aku berusaha keras melupakan, tapi itu dulu,
sekarang aku takut, sangat takut jika aku akan lupa.
Mendengarkan
music tempo dulu adalah salah satu kesukaanku, sering teman-temanku meledek
tanpa memikirkan perasaanku, aku tak mampu menjelaskan alasanku mengenai
kesukaanku terhadap music tempo dulu. Aku semakin tak ingin memberi alasan
ketika aku sadar akan satu hal, “mereka tak tahu apa guna dan kesenangan dalam
sejarah”, ku biarkan mereka dengan pemikiran mereka yang gaul dan modern
“katanya”. Ketika aku mendengarkan music tempo dulu, aku merasa memori
kolektifku terpanggil, music-musikyang ngetren di era 80-an itu biasa aku
dengarkan ketika aku masih kecil dari sebuah tape tua milik bapakku,di sebuah
rumah panggung yang kecil tempat kami tinggal, tape itu masih di simpan oleh
bapak sampai saat ini, meskipun rongsok tapi tak pernah terpikirkan untuk
menjualnya, tape itu memiliki kenangan tersendiri “kata bapak”. Rumah panggung
kecil yang di penuhi dengan hangatnya kasih sayang dan kebersamaan tanpa adanya
kesibukan dan rutinitas yang membosankan seperti saat ini.
Beberapa
kali dalam seminggu bapak sama nenekku ke laut memancing ikan, menggunakan
perahu dan mendayung menyusuri laut. Aku ingat ketika berjalan di jalan yang
lebarnya hanya sekitar 30 CM menuju kebun, rumput-rumput liar kadang menempel
di bagian bawah celana yang aku gunakan. Memetik tomat, rica, sayuran, buah
kopi, buah coklat, dan buah-buahan lainnya adalah hal yang sering aku lakukan
bersama bapak, mama, nenek, dan kakek, karena adikku masih kecil jadi dia tidak
bisa ikut, dan itu adalah hal yang paling mengesalkan bagiku waktu itu, banyak
nyamuk-nyamuk hutan yang senang mengisap darahku, belum lagi semut-semut merah
yang menempel pada buah kopi yang mulai memerah dan harus di petik, aku mulai
kesal ketika nyamuk-nyamuk itu mengisap darahku dan meningkalkan bentolan merah
di kulitku, semut-semut nakal mulai mengigit dan menyisakan sakit nyut-nyutan
yang tidak terlalu sakit tapi bikin naik tensi, itulah saat aku akan menangis
dan minta pulang ke rumah.Aku ingin mengulang kisah itu, aku merindukannya,
amat sangat merindukannya.
Usiaku
kini 19 tahun, aku sekarang kuliah di Universitas Tadulako Palu, jarak yang
begitu jauh memisahkan aku dengan keluarga, tuntutan pendidikan memaksa aku
harus menahan rindu terhadap keluarga yang setiap saat menghampiri.Kadang dalam
setahun sekali dua kali aku kembali ke kampung halaman, bukan kampung
halamanku, tapi kampung halaman orang lain, aku tak lagi tinggal di desa kecil
yang aku ceritakan.Bapak dari bapakku menghadap yang kuasa tahun 2002 lalu, dua
tahun berlalu bapak dari mama juga meninggalkan anak dan cucu-cucunya.
Kepergian dua tuan tanah itu menyisakan luka yang mendalam, ketika kedua orang
hebat itu menghadap sang khalik, desa kecil yang dulunya indah seakan ikut mati
bersama tuan tanahnya, itu alasan keluargaku memilih berpindah ke desa lain.
Namun meskipun begitu kami masih sering berkunjung ke desa itu untuk menengok
nenek, ibu dari bapakku, nenek perempuanku tak ingin meninggalkan desa kecil
itu karena tak ingin meninggalkan rumah yang dulunya ia bangun bersama suami tercintanya,
dan tempat anak-anak mereka lahir dan di besarkan, salah satunya adalah
bapakku. Tapi nenek perempuanku juga sering berkunjung ke desa dimana tempat
anak-anaknya tinggal, tapi tak lama, ia tetap ingin kembali ke rumahnya, bahkan
dalam kondisi mata yang sudah tak jelas melihat ia masih tetap tinggal di
rumahnya, aku senang menginap di rumah nenek perempuanku, mengingat ia
sendirian, karena di desa itu hanya ada 4 rumah. Setiap aku menginap nenek
selalu membuatkanku ikan tumis, karena dulu aku tak ingin makan jika lauknya
bukan ikan tumis, karena matanya tak melihat dengan jelas nenek hanya mampu
meraba untuk menemukan bahan-bahan dan benda yang ia butuhkan, dan ia sudah
menghapalkan dimana ia menyimpan sesuatu, walapun penglihatannya tak jelas itu
tidak mengurangi rasa nikmat ikan tumis kesukaanku buatan nenek, aku memiliki
julukan untuk nenek perempuanku yaitu nenek ompong, semuanya jadi ikut-ikutan
memanggil nenek ompong, jadi masakan itu ku beri nama ikan tumis alaa nenek
ompong, sampai sekarang belum ada yang bisa menyamai ataupun menyaingi ikan
tumis buatan nenek ompongku.
Semakin
hari usia tua makin bertambah, di usia nenek yang tak lagi muda, berbagai macam
penyakit mengerogoti tubuhnya, kini nenek ompong benar-benar buta, jari kaki
kanannya tinggal 3 karena dulu ketika penglihatannnya belum buta-buta banget,
nenek ompong sering memperbaiki pagar-pagar rumahnya yang terbuat dari
batang-batang kayu, ketika berjalan nenek ompong tak melihat ada potongan drum
besi yang terletak di tanah, dan dia menendangnya dan membuat jari kakinya
terpotong. Cukup lama nenekku menderita karena sakitnya, banyak hal yang tak
mampu aku ungkapkan tentangnya, aku selalu mengingat dan tertancap benar di
otakku pesan nenek “jangan pernah buat orang tuamu malu”, yah aku telah
berjanji akan hal itu. Waktu itu aku berada jauh dari kampung halaman,
kehilangan seseorang itu adalah hal tak pernah terduga sebelumnya, aku mendapat
kabar dari bapak bahwa nenek telah meninggal, air mataku tak tertahankan hatiku
begitu sakit, aku menyesal karena selalu menunda untuk menjenguk nenek ketika
sakitnya bertambah parah, karena alasana pendidikan. Tak lagi kupikirkan
masalah ujian sekolah, aku memutuskan untuk kembali ke kampung, dan yang aku
temui hanyalah tubuh yang pucat dan terbujur kaku, berat rasanya kakiku
melangkah ke arah nenek, bapak menagkap tubuhku yang hampir saja tergeletak di
tanah dan memelukku erat.Berat rasanya namun aku menyanggupkan diri untuk ikut
mengantarkaan nenek ke tempat peristirahatan terakhirnya, selamat jalan nenek
ompong, semoga engkau di tempatkan disurga-Nya Aamiin.